This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 18 Juni 2011

Menelusuri Sejarah Sunda Belanda


Menelusuri sejarah kebudayaan Indonesia, termasuk sejarah Sunda, mau tidak mau mesti berhubungan dengan negeri Belanda. Banyak arsip dan artefak penting yang disimpan di Belanda hingga kini masih dipelihara dengan baik.
Di negeri Belanda paling tidak terdapat dua lembaga penting yang mengoleksi cukup banyak arsip dan artefak Sunda, yaitu Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV) di Leiden dan Museum Tropen di Amsterdam. Bahkan, di tempat yang disebutkan terakhir, pengunjung dapat menikmati diorama dalam ukuran asli secara proporsional dan boneka model kecil. Displai tersebut berusaha membawa pengunjung pada keadaan ataupun suasana yang mendekati aslinya.
Beberapa koleksi berbentuk miniatur, seperti miniatur rumah joglo dari Jawa, dan boneka model yang mengenakan pakaian tradisional dari berbagai daerah, termasuk Bali, ditampilkan dengan jumlah koleksi cukup banyak. Tampak juga sekelompok pemain gamelan yang diperagakan dengan boneka model kecil berukuran lebih kurang 15-20 sentimeter. Meskipun ukurannya kecil, boneka itu cukup detail dan informatif. Manuskrip Sunda "buhun"
Koleksi foto dan naskah KITLV sungguh mengagumkan. Bayangkan, peta-peta kuno Kota Bandung yang orisinal dan sudah berusia sekitar seabad masih tersimpan dengan baik. Di antara peta-peta tersebut ada yang digambar secara manual dan ditulis dengan tangan. Hanya, karena sudah tua, beberapa bagian, terutama pada lipatan sedikit rusak. Namun, secara keseluruhan peta tersebut masih bisa dibaca dan digunakan sebagai dokumen atau referensi.
Salah satu koleksi KITLV yang menarik adalah sebuah manuskrip tentang permainan tradisional anak-anak Sunda yang berasal dari berbagai daerah sejak tahun 1900-an. Manuskrip tersebut terdiri dari lembaran hasil ketikan manual di atas kertas ukuran folio serta tulisan tangan. Beberapa tulisan dilengkapi dengan ilustrasi sederhana dengan medium pensil atau tinta. Ilustrasi tersebut menggambarkan cara permainan beserta peralatannya.
Manuskrip tersebut tidak dipinjamkan ke luar kecuali untuk difotokopi di tempat tersebut. Harga per lembar 0,60 euro (sekitar Rp 9.600 dengan kurs 1 euro = Rp 16.000). Jumlahnya sekitar 130 lembar. Jadi, biaya fotokopinya 130 x Rp 9.600 = Rp 1.248.000.
Jika dihitung dari harganya, itu termasuk sangat mahal. Namun, kalau kita lihat dari nilai kesejarahan, orisinalitas, dan kepentingannya mengenai sejarah kaulinan barudak di Tatar Sunda, harga tersebut tidak ada artinya. Belum tentu museum atau pusat kebudayaan Sunda di Bandung memiliki arsip serupa.
Di Museum Tropen, Amsterdam, terdapat satu paviliun yang disebut The Netherlands East Indies di lantai pertama. Isinya adalah berbagai koleksi seni budaya dari tanah Hindia Belanda, termasuk yang berasal dari Tatar Sunda.
Di salah satu displai terdapat tayangan audiovisual film dokumenter mengenai kehidupan sehari-hari keluarga Preangerplanter. Displai itu dilengkapi dengan dokumentasi foto-foto mereka di rumah dengan latar belakang para pembantu atau lebih populer dengan sebutan jongos. Jongos wanita memakai kebaya dan jongos lelaki memakai sarung dengan ikat kepala. Pada waktu itu acara minum teh sering kali dijadikan kesempatan orang Belanda yang baru datang dari negerinya untuk mengenal lingkungan sosialnya yang baru di Hindia Belanda.

Sejarah pendidikan
Di bidang sejarah pendidikan di Hindia Belanda salah satunya dipamerkan buku bacaan berjudul Bacaan Mimiti Pikeun Sakola Sunda III karangan RK Djajadiredja, TA Gaikhorst, dan N Titus. Turut dipajang buku RA Kartini, Door Duisternis tot Licht, buku Sutan Sjahrir berjudul Onze Strijd, serta sebuah buku karangan Soekarno mengenai Indonesia. Buku-buku tersebut orisinal.
Dipajang pula alat-alat tulis gerip lengkap dengan sabak sebagai alas menulisnya. Zaman dahulu, anak sekolah menulis pelajaran di atas sabak. Jika ingin belajar atau membahas materi berikutnya, sabak tersebut mesti dihapus terlebih dahulu. Dengan demikian, siswa mesti mampu mengingat, misalnya rumus hitungan yang baru saja ditulis. Jangan heran, banyak orang tua dahulu dapat mengingat sesuatu atau menghitung bilangan di luar kepala. Zaman sekarang, jika siswa lupa, ia tinggal membuka kembali buku catatannya. Bahkan dengan komputer prosesnya lebih mudah lagi.
Selain itu, terdapat gambar "sekolah" kalangan pribumi di kampung (eene inlandsche school in de kampong). Bangunannya berupa rumah panggung kecil berlantai palupuh. Dinding belakang dan sebagian dinding samping ditutupi bilik bambu. Siswa laki-laki duduk bersila mengenakan sarung dengan tutup kepala. Seorang siswa perempuan berkebaya duduk terpisah dari laki-laki. Mereka tampaknya sedang belajar membaca buku atau Al Quran yang diletakkan di atas penopang kayu.
Jika diamati secara saksama, bangunan tersebut menyerupai sebuah tajug karena di latar depan tergantung beduk dan gentong air untuk membersihkan badan atau berwudu.
Pada bagian keterangan dituliskan bahwa sekolah-sekolah di Hindia Belanda didirikan karena pihak pemerintah dan perusahaan milik Belanda memerlukan pekerja yang terlatih. Dengan cara meningkatkan pendidikan di kalangan pribumi diharapkan kebutuhan itu dapat terpenuhi. Selain itu, program tersebut merupakan salah satu kebijakan etis pihak Pemerintah Belanda waktu itu.
Di bagian lain dipajang berbagai bentuk hasil kerajinan dari bambu, kayu, dan pandan, antara lain ayakan, pengki, besek, tolombong, dan dudukuy. Bahkan pengki terdiri dari beberapa bentuk dan ukuran. Ada juga perangkap ikan di sungai yang disebut bubu dan bermacam-macam alat atau produk dari batok kelapa.
Kini barang dan alat-alat tersebut mulai langka dan jarang digunakan lagi oleh masyarakat di kota besar. Peralatan tersebut tersisih oleh produk plastik yang lebih murah dan tahan lama. Padahal, alat tersebut merupakan artefak yang menjadi bagian dari sejarah kebudayaan sebuah bangsa atau suku, misalnya suku Sunda, yang memiliki nilai historis tinggi.
HENRY H LOUPIAS Staf Pengajar Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan

SEJARAH KOTA BANDUNG

Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.



Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari kata bendung.
Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun yang lalu).
Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50 kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.
Berdirinya Kabupaten Bandung
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I.
Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.
Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.
Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupagten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan sttus administrative yang jelas, yaitu kabupaten.
Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi kur Gede.
Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.
Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.
Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupti atas rakyatnya.
Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, ha memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, ha memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahn dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.
Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.
Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).
Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) ankatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.

Berdirinya Kota Bandung
Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati RA Wiranatakusumah II, kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember 1799). Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811).
Sejalan dengan perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, situasi dan kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak di bagian Selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang ter;etak di bagian tengah wilayah kabupaten tersebut.
Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (penjajah), karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah tidak memiliki kekuasaan. Bagi para bupati, selama vakum kekuasaan itu berarti hilangnya beban berupa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bagi kepentingan penguasa asing (penjajah). Dengan demikian, mereka dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah masing-masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung.
Menurut naskah Sadjarah Bandung, pada tahun 1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke daerah sebelah Utara dari lahan bakal ibukota. Pada waktu itu lahan bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan Kampung Bogor. Menurut naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara selama dua setengah tahun.
Semula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia pindah Balubur Hilir. Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di Jl. Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu deandels menancapkan tongkat seraya berkata: "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!" (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!". Rupanya Deandels menghendaki pusat kota Bandung dibangun di tempat itu.
Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten masing-masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu disampaikan melalui surat tertanggal 25 Mei 1810.
indahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum tersebut dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810. Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan (besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.
Boleh jadi bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah di sana terlebih dahulu berdiri bangunan pendopo kabupaten. Dapat dipastikan pendopo kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat kegiatan pemerintahan Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung.
Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan pada tahun 1864. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat itu Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten Bandung sekaligus sebagai ibukota Keresidenan Priangan. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).
Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat) dan sebuah hotel pemerintah. Gedung keresidenan selesai dibangun tahun 1867.
Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroperasi transportasi kereta api dari dan ke kota Bandung sejak tahun 1884. Karena Kota Bandung berfungsi sebagai pusat kegiatan transportasi kereta api "Lin Barat", maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun.
Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang dapat mengurus kepentingan mereka. Sementara itu pemerintah pusat menyadari kegagalan pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis berikut dampaknya. Karenanya, pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi, bukan hanya desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga desentralisasi dalam pemberian hak otonomi bidang pemerintahan (zelfbestuur)
Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati RAA Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti pemerintah kabupaten mendapat dana budget khusus dari pemerintah kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada.
Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai gemeente (kotapraja) yang berpemerintahan otonomom. Ketetapan itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan, terutama pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung
Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gemeenteraad), tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh burgemeester (walikota).
Oleh: A. Sobana Hardjasaputra

Senin, 06 Juni 2011

Komunikasi Lebih Efektif dengan "Sentuhan Pribadi


Wardah Fazriyati | wawa | Senin, 6 Juni 2011 | 18:17 W
 
|
Share:
Ide cemerlang Anda takkan direspons positif jika kepribadian Anda tak disukai orang lain, atau Anda tak memelajari kepribadian lawan bicara.
KOMPAS.com - Siapa pun akan bersentuhan dengan komunikasi, apa pun pekerjaan atau profesinya. Setiap individu juga memiliki karakter dan kepribadian yang unik. Komunikasi dan kepribadian saling membutuhkan. Individu yang jago berkomunikasi, tapi tak memiliki kepribadian yang menyenangkan, atau tak mau memelajari ragam kepribadian orang lain, cenderung fokus hanya pada dirinya. Pesan yang disampaikannya berhenti pada dirinya sendiri, lantaran orang lain tak mau peduli. Pasalnya, ia tak memiliki kepribadian menarik, yang membuat orang lain merasa enggan atau sungkan mendengarkan pesan penting yang dibawanya.

Presenter, penulis buku, dan pemilik sekolah Public Speaking Talk-Inc, Erwin Parengkuan tertarik membahas persoalan komunikasi dan kepribadian ini. Dalam bukunya berjudul Click!, Erwin menuangkan pemikirannya, sekaligus membuka mata bahwa komunikasi tak lengkap tanpa kepribadian, begitu pun sebaliknya.

"Dunia karier maupun bisnis membutuhkan komunikator andal yang mampu menyampaikan gagasan dan informasi secara lebih efektif. Faktanya, hampir semua bidang pekerjaan membutuhkan seorang komunikator. Komunikasi tidak bisa dilihat sebagai seni menyampaikan pesan saja. Komunikasi juga merupakan seni tentang kepribadian karena komunikasi adalah keterampilan yang berhubungan dengan orang. Ketika kita berbicara mengenai orang, maka hal tersebut dengan sendirinya berkaitan dengan kepribadian. Kepribadian dan komunikasi memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya bahkan mustahil dipisahkan," papar Erwin yang menulis buku Click! (komunikasi dan kepribadian) dari pengalamannya melakoni profesi presenter, fasilitator, dan pengajar.

Menurut Erwin, bila ingin berkomunikasi efektif dengan lawan bicara, mau tidak mau harus melibatkan sudut pandang kepribadian. Karena baginya, kepribadian memengaruhi pola pikir dan gaya komunikasi seseorang. Efektivitas komunikasi juga bergantung kepada kemampuan komunikator memahami kepribadian lawan bicara.

"Sehebat apa pun cara bicara kita, bila lawan bicara menganggap kepribadian kita kurang menarik, maka pesan kita akan cenderung diabaikan olehnya," jelas Erwin.

Sebagai praktisi, Erwin mendapatkan fakta bahwa komunikasi seringkali gagal bukan karena idenya tidak cemerlang atau cara penyampaiannya  tidak bagus. Komunikasi gagal, lanjutnya, karena lawan bicara "menolak" untuk menerima gagasan yang diberikan.

Sebagai contoh, ketika ada komunikator yang kepribadiannya tidak disukai (misalnya, sering menentang pendapat atau terlalu agresif), si lawan bicara cenderung menolak pesan yang disampaikannya. Meskipun informasinya bermanfaat atau gagasannya cemerlang, tetap saja informasi atau gagasan tersebut diabaikan karena kepribadian yang tidak disukai tersebut. Sebaliknya, meskipun gagasannya biasa-biasa saja, tetapi karena komunikator memiliki kepribadian menarik, maka si penerima pesan cenderung menerima gagasan tersebut.

"Orang yang senang bicara memiliki gaya komunikasi yang berbeda dibandingkan orang pendiam. Orang perfeksionis gaya komunikasinya berlainan dengan orang yang bergaya flamboyan," jelas Erwin memaparkan kaitan komunikasi dan kepribadian.

Orang yang bersikap "sok tahu" atau "sok pintar" biasanya sulit mendapatkan respons positif dari lawan bicara. Sementara seseorang yang rendah hati dan bersikap hangat terhadap lawan bicaranya, cenderung lebih disukai. Fakta seperti ini tentunya banyak ditemui sehari-hari. Anda tentu akan merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan orang lain, terutama mereka yang berstatus lebih tinggi dari Anda, memiliki kepribadian ramah dan menghargai Anda setulusnya.

Keberhasilan komunikasi tak hanya bergantung kepribadian komunikator. Pesan akan diterima maksimal hanya jika komunikator juga memelajari dan berusaha memahami kepribadian lawan bicaranya. Memahami kepribadian lawan bicara akan memudahkan komunikator menentukan cara berkomunikasi sesuai kepribadian tersebut.

"Seorang komunikator yang baik harus memahami kepribadian lawan bicara sebelum memulai sebuah proses komunikasi. Komunikasi akan efektif bila ada 'sentuhan pribadi' di dalamnya," tandas Erwin

Jumat, 27 Mei 2011

Kamis, 26 Mei 2011

Gawat! Kelapa Sawit Ancam Spesies Hutan


INILAH.COM, London – Peneliti mengatakan, kelapa sawit di Malaysia menyebabkan fragmentasi hutan yang bisa mengancam satwa liar dan beberapa tingkat keanekaragaman hayati. Bagaimana bisa?
Ilmuwan dari Queen Mary University of London menggunakan kelelawar sebagai indikator perubahan lingkungan. Selama tak ada tindakan yang diambil, ilmuwan mengkhawatirkan beberapa spesies yang berusaha bertahan hidup.
Tim ini melakukan survei pada kelelawar di hutan alam dan hutan yang telah terfragmentasi kelapa sawit. Hasilnya, tim menemukan keberadaan spesies yang berbeda.
"Kami menemukan area hutan yang lebih kecil yang mendukung spesies yang lebih sedikit," kata peneliti Mathew Struebig.
Tim menemukan, fragmentasi ini nampaknya memiliki dampak lebih besar pada hilangnya genetik dan populasi jangka panjang.
“Kami menemukan, untuk menjaga jumlah spesies kelelawar, hutan setidaknya harus memiliki luas 650 hektare,” ujarnya.
Bagaimanapun juga, untuk menjaga tingkat keberagaman genetik, area yang dibutuhkan harus lebih dari 10 ribu hektare.
"Temuan ini memiliki implikasi penting bagi manajemen hutan di saat perluasan kelapa sawit kian marak," ujarnya. [mor]

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More